Di tengah upaya pemerintah menyalurkan bantuan sosial (bansos) kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, masih saja ada fenomena menyedihkan yang terus terjadi: orang-orang yang mengaku berada dalam kondisi ekonomi mapan, namun tetap menerima—bahkan sengaja mengejar—bantuan sosial. Ironis, bukan?
Bantuan Sosial untuk Siapa?
Bansos adalah program negara yang diperuntukkan bagi warga kurang mampu—mereka yang penghasilannya tak cukup untuk kebutuhan dasar, yang terdampak bencana, atau kehilangan pekerjaan. Idealnya, bansos adalah penyambung hidup. Tapi nyatanya, sistem sering kali dikalahkan oleh kelicikan.
Banyak laporan menunjukkan bahwa bantuan justru jatuh ke tangan yang salah. Bukan hanya karena kesalahan pendataan, tapi juga karena ada individu yang secara sadar dan sengaja memanipulasi status ekonomi demi mendapat jatah bansos.
Miskin di Atas Kertas
Modusnya beragam: tidak memperbarui data kependudukan, meminjam KTP saudara yang berpenghasilan rendah, Di media sosial, kita kerap melihat unggahan “lucu” seseorang memamerkan handphone Mahal dan mobil mewah atau rumah megah, tapi masih dapat bansos sembako. Lucu? Mungkin. Tapi lebih tepat disebut memalukan.
Mentalitas “Asal Dapat”
Yang lebih parah, sebagian dari mereka merasa tidak bersalah. “Rezeki nggak boleh ditolak,” kata mereka. Padahal, setiap bantuan yang diterima secara tidak sah adalah hak orang lain yang lebih membutuhkan. Mentalitas ini yang membuat program bansos kehilangan akurasinya dan menciptakan ketidakadilan sosial.
Saatnya Kita Introspeksi
Mengaku kaya di hadapan teman, pamer gaya hidup di media sosial, tapi berebut bansos di belakang layar—itulah potret kegagalan nurani. Jika merasa cukup, mestinya kita mundur dan memberi ruang pada yang benar-benar lapar, kesulitan, dan tak punya pilihan.
Bansos bukan hak semua orang. Bansos adalah tali darurat bagi mereka yang sedang tenggelam, bukan pelampung tambahan bagi yang sudah berenang di kolam renang.